Sejarah Masuknya Islam Ke Nusantara


A. SejarahMasuknya Islam di Nusantara
Menurutsatupendapat Agama Islam masuk di Nusantara sekitarabad VII dan VIII masehi.Hal inididasarkankepadaberitacina yang menceritakanrenacanaserangan orang-orang Arab. Dinasti Tang di Cinajugamemberitakanbahwa di Sriwijayasudahadaperkampunganmuslim yang mengadakanhubungandagangdengancina. Pendapatlainnyamengatakanbahwa Islam masuk di Nusantara padaabadke 13, halini di dasarkanpadadugaankeruntuhanDinasti Abasiyah (1258 M), beritaMarcopolo (1292 m), batunisan Sultan Malik As Saleh (1297), danpenyebaranajarantasawuf. Agama Islam masuk di nusantaradibawaolehparapedagangmuslimmelaluiduajalur, yaitu jalurutaradanjalurseletan. Melaluijalurutara denganrute : Arab (MekahdanMadinah) – Damaskus – Bagdad – Gujarat (pantaibarat India) – Nusantara. Melaluijalur selatan dengan rute : Arab (MekahdanMadinah) – Yaman - Gujarat (pantaibarat India) – Srilangka – Nusantara. Cara penyebaran Islam di Nusantara dilakukanmelewatiberbagaijalandiantaranyaadalah melaluiperdagangan, sosial, danpengajaran.

1. Perdagangan
Para pedagangmuslim yang berasaldari Arab, Persia, dan India telahikutambilbagian dalamlalulintasperdagangan yang menghubungkan Asia Barat, Asia Timur, dan Asia Tenggara padaabad ke-7 samapaiabadke 16. Para pedagangmuslimituakhirnyasinggah juga di Indonesia ,danternyata yang merekalakukanbukanhanya berdagang, tetapijuga berdakwahdanmenyebarkan agama Islam. Saatberdagang merekamenunjukanpribadi muslim yang baik, berbudiluhur, jujur, amanah, dan dapatdipecaya. Hal tersebutmenjadi dayatarik yang utamasehinggabanyak orang yang sukarelamasuk Islam tanpapaksaan.
2. HubunganSosial
Para mubaligh yang menyebarkan Islam di nusantaraternyatatidakhanyaaktif berdagang, merekapunaktifdalamkegiatansosial yang ada di lingkunganmereka tinggal, bahkan sebagaindarimerekaada yang menetap di lingkungantersebut karenamerekamenikah denganpenduduksetempat.Banyakhal yang dilakukan paramubalighdalamkegiatan kemasyarakatan, merekapunmengajarkantentang persamaanhaktidakadaperbedaansatu samalainnyakarenakemulaianmanusia tidakditentukanolehkastanyakecualikarena ketaqwaannyakepada Allah. Islam mengajarkan agar umatnyasalingmembantu, yang kaya membantu yang miskin, yang kuatmembantu yang lemah, dansebagainya. Sehinggadenganajarannini menyebabkan Islam semakinmudahditerima masyarakatkarenaajrannyasangat luhur.
3. PendidikandanPengajaran
AjaranNabi Muhammad SAW. Tentang “Sampaikanlahdarikuwalauhanyasatu ayat”, menjadi motivator paramubaligh Islam padasaatituuntuksemakinbersemangat menyempaikanajaran Islam.Disetiapkesempatanparamubaligh menyampaikanajaran Islam kepadamasyarakatsekitarmelaluipendidikandanpengajarandenganmenggunakan mushala, rumahsalahseorangwarga, bahkantempatterbukaseperti di bawahpohonrindang sebagaitempatuntuk menyampaikandakwahnya.

Kerajaan Islam Di Sumatra
Kerajaan sumatra
Pedagang Persia, Gujarat, dan Arab pada awal abad ke-12 membawa ajaran Islam aliran Syiah ke pantai Timur Sumatera, terutama di negera Perlak dan Pasai. Saat itu aliran Syiah berkembang di Persia dan Hindustan apalagi Dinasti Fatimiah sebagai penganut Islam aliran Syiah sedang berkuasa di Mesir. Mereka berdagang dan menetap di muara Sungai Perlak dan muara Sungai Pasai mendirikan sebuah kesultanan. Dinasti Fatimiah runtuh tahun 1268 dan digantikan Dinasti Mamluk yang beraliran Syafi’i, mereka menumpas orang-orang Syiah di Mesir, begitu pula di pantai Timur Sumatera. Utusan Mamluk yang bernama Syekh Ismail mengangkat Marah Silu menjadi sultan di Pasai, dengan gelar Sultan Malikul Saleh. Marah Silu yang semula menganut aliran Syiah berubah menjadi aliran Syafi’i. Sultan Malikul Saleh digantikan oleh putranya yang bernama Sultan Malikul Zahir, sedangkan putra keduanya yang bernama Sultan Malikul Mansur memisahkan diri dan kembali menganut aliran Syiah. Saat Majapahit melakukan perluasan imperium ke seluruh Nusantara, Pasai berada di bawah kekuasaan Majapahit.

Berikut ini adalah urutan para raja yang memerintah di Samudera Pasai, yakni:

(a) Sultan Malik as Saleh (Malikul Saleh).

(b) Sultan Malikul Zahir, meninggal tahun 1326.

(c) Sultan Muhammad, wafat tahun 1354.

(d) Sultan Ahmad Malikul Zahir atau Al Malik Jamaluddin, meninggal tahun 1383.

(e) Sultan Zainal Abidin, meninggal tahun 1405.

(f) Sultanah Bahiah (puteri Zainal Abidin), sultan ini meninggal pada tahun 1428.

Kerajaan-Kerajaan Islam Dijawa
Kerajaan islam pertama di jawa, berdiri pada akhir abad ke-15. Letak kerajaan di bintoro dekat muara sungai demak. Pusat kerajaan terletak antara pelabuhan bergota dan jepara. Raja-raja yang memerintah di demak yaitu: raden patah sebagai pendiri dan raja pertama, pati unus, sultan trenggono, sunan prawoto. Demak berperan besar dalam penyebaran agama islam di jawa dan wilayah nusantara bagian timur. Oleh para wali, di demak didirikan masjid agung demak yang masih kokoh berdiri sampai sekarang. Dengan bantuan para wali demak diperluas hingga meliputi: jepara, pati, rembang, semarang; kepulauan si selat karimata dan beberapa daerah di kalimantan. Demak menguasai beberapa pelabuhan penting seperti jepara, tuban, sedayu, jaratan, dan gresik.
Berikut ini adalah urutan para raja yang memerintah di jawa
1. Raden Patah (1478 – 1518)
2. Patih unus atau pangeran sebrang lor ( raja demak II )
3. Raden Trenggono ( raja Demak III)


kerajaan islam di kalimantan
Kerajaan Pontianak
Kerajaan-kerajaan yang terletak di daerah Kalimantan Barat antara lain Tanjungpura dan Lawe. Kedua kerajaan tersebut pernah diberitakan Tome Pires (1512-1551). Tanjungpura dan Lawe menurut berita musafir Portugis sudah mempunyai kegiatan dalam perdagangan baik dengan Malaka dan Jawa, bahkan kedua daerah yang diperintah oleh Pate atau mungkin adipati kesemuanya tunduk kepada kerajaan di Jawa yang diperintah Pati Unus. Tanjungpura dan Lawe (daerah Sukadana) menghasilkan komoditi seperti emas, berlian, padi, dan banyak bahan makanan. Banyak barang dagangan dari Malaka yang dimasukkan ke daerah itu, demikian pula jenis pakaian dari Bengal dan Keling yang berwarna merah dan hitam dengan harga yang mahal dan yang murah. Pada abad ke-17 kedua kerajaan itu telah berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Mataram terutama dalam upaya perluasan politik dalam menghadapi ekspansi politik VOC.
Demikian pula Kotawaringin yang kini sudah termasuk wilayah Kalimantan Barat pada masa Kerajaan Banjar juga sudah masuk dalam pengaruh Mataram, sekurang-kurangnya sejak abad ke-16. Meskipun kita tidak mengetahui dengan pasti kehadiran Islam di Pontianak, konon ada pemberitaan bahwa sekitar abad ke-18 atau 1720 ada rombongan pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang di antaranya dating ke daerah Kalimantan Barat untuk mengajarkan membaca al- Qur’an, ilmu fikih, dan ilmu hadis. Mereka di antaranya Syarif Idrus bersama anak buahnya pergi ke Mampawah, tetapi kemudian menelusuri sungai ke arah laut memasuki Kapuas Kecil sampailah ke suatu tempat yang menjadi cikal bakal kota Pontianak. Syarif Idrus kemudian diangkat menjadi pimpinan utama masyarakat di tempat itu dengan gelar Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus yang kemudian memindahkan kota dengan pembuatan benteng atau kubu dari kayu-kayuan untuk pertahanan. Sejak itu Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus dikenal sebagai Raja Kubu. Daerah itu mengalami kemajuan di bidang perdagangan dan keagamaan, sehingga banyak para pedagang yang berdatangan dari berbagai negeri.

Pemerintahan Syarif Idrus (lengkapnya: Syarif Idrus al-Aydrus ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Hassan ibn Alwi ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Husin ibn Abdullah al-Aydrus) memerintah pada 1199-1209 H atau 1779-1789 M. Cerita lainnya mengatakan bahwa pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang mengajarkan Islam dan datang ke Kalimantan bagian barat terutama ke Sukadana ialah Habib Husin al-Gadri. Ia semula singgah di Aceh dan kemudian ke Jawa sampai di Semarang dan di tempat itulah ia bertemu dengan pedagang Arab namanya Syaikh, karena itulah maka Habib al-Gadri berlayar ke Sukadana. Dengan kesaktian Habib Husin al-Gadri menyebabkan ia mendapat banyak simpati dari raja, Sultan Matan dan rakyatnya. Kemudian Habib Husin al- Gadri pindah dari Matan ke Mempawah untuk meneruskan syiar Islam. Setelah wafat ia diganti oleh salah seorang putranya yang bernama Pangeran Sayid Abdurrahman Nurul Alam. Ia pergi dengan sejumlah rakyatnya ke tempat yang kemudian dinamakan Pontianak dan di tempat inilah ia mendirikan keraton dan masjid agung. Pemerintahan Syarif Abdurrahman Nur Alam ibn Habib Husin al-Gadri pada 1773- 1808, digantikan oleh Syarif Kasim ibn Abdurrahman al-Gadri pada 1808-1828 dan selanjutnya Kesultanan Pontianak di bawah pemerintahan sultan-sultan keluarga Habib Husin al-Gadri.[gs]




Kerajaan-Kerajaan Islam di Sulawesi 
- Di daerah Sulawesi juga tumbuh kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Munculnya kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi tidak terlepas dari perdagangan yang berlangsung ketika itu. Berikut ini adalah beberapa kerajaan Islam di Sulawesi di antaranya Gowa Tallo, Bone, Wajo dan Sopeng, dan Kesultanan Buton. Dari sekian banyak kerajaan-kerajaan itu yang terkenal antara lain Kerajaan Gowa Tallo.

Kerajaan Gowa Tallo
Kerajaan Gowa Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam sering berperang dengan kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, seperti dengan Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo. Kerajaan Luwu yang bersekutu dengan Wajo ditaklukan oleh Kerajaan Gowa Tallo. Kemudian Kerajaan Wajo menjadi daerah taklukan Gowa menurut Hikayat Wajo. Dalam serangan terhadap Kerajaan Gowa Tallo Karaeng Gowa meninggal dan seorang lagi terbunuh sekitar pada 1565. Ketiga kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng mengadakan persatuan untuk mempertahankan kemerdekaannya yang disebut perjanjian Tellumpocco, sekitar 1582. Sejak Kerajaan Gowa resmi sebagai kerajaan bercorak Islam pada 1605, maka Gowa meluaskan pengaruh politiknya, agar kerajaan-kerajaan lainnya juga memeluk Islam dan tunduk kepada Kerajaan Gowa Tallo. Kerajaan-kerajaan yang tunduk kepada kerajaan Gowa Tallo antara lain Wajo pada 10 Mei 1610, dan Bone pada 23 Nopember 1611. Di daerah Sulawesi Selatan proses Islamisasi makin mantap dengan adanya para mubalig yang disebut Datto Tallu (Tiga Dato), yaitu Dato’ Ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu), ketiganya bersaudara dan berasal dari Kolo Tengah, Minangkabau. Para mubalig itulah yang mengislamkan Raja Luwu yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng Parabung dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16 Ramadhan 1013 H (4-5 Februari 1605 M). Kemudian disusul oleh Raja Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dengan gelar Sultan Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I Manga’rangi Daeng Manrabbia mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M. Perkembangan agama Islam di daerah Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaikbaiknya bahkan ajaran sufisme Khalwatiyah dari Syaikh Yusuf al-Makassari juga tersebar di Kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan abad ke-17. Karena banyaknya tantangan dari kaum bangsawan Gowa maka ia meninggalkan Sulawesi Selatan dan pergi ke Banten. Di Banten ia terima oleh Sultan Ageng Tirtayasa bahkan dijadikan menantu dan diangkat sebagai mufti di Kesultanan Banten.
Dalam sejarah Kerajaan Gowa perlu dicatat tentang sejarah perjuangan Sultan Hasanuddin dalam mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya penjajahan politik dan ekonomi kompeni (VOC) Belanda. Semula VOC tidak menaruh perhatian terhadap Kerajaan Gowa Tallo yang telah mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan. Setelah kapal Portugis yang dirampas oleh VOC pada masa Gubernur Jendral J. P. Coen di dekat perairan Malaka ternyata di kapal tersebut ada orang Makassar. Dari orang Makassar itulah ia mendapat berita tentang pentingnya pelabuhan Sombaopu sebagai pelabuhan transit terutama untuk mendatangkan rempah-rempah dari Maluku. Pada 1634 VOC memblokir Kerajaan Gowa tetapi tidak berhasil. Peristiwa peperangan dari waktu ke waktu berjalan terus dan baru berhenti antara 1637-1638. Tetapi perjanjian damai itu tidak kekal karena pada 1638 terjadi perampokan kapal orang Bugis yang bermuatan kayu cendana, dan muatannya tersebut telah dijual kepada orang Portugis. Perang di Sulawesi Selatan ini berhenti setelah terjadi perjanjian Bongaya pada 1667 yang sangat merugikan pihak Gowa Tallo.



Berikut ini adalah urutan para raja yang memerintah di sulawesi

Sultan-Sultan Kadriah Pontianak
No
Sultan
Masa pemerintahan
1
1 September 1778 – 28 Februari 1808
2
Sultan Syarif Kasim Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie
28 Februari 1808 – 25 Februari 1819
3
Sultan Syarif Usman Alkadrie bin Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie[4]
25 Februari 1819 – 12 April 1855
4
Sultan Syarif Hamid Alkadrie bin Sultan Syarif Usman Alkadrie
12 April 1855 – 22 Agustus 1872
5
Sultan Syarif Yusuf Alkadrie bin Sultan Syarif Hamid Alkadrie
22 Agustus 1872 – 15 Maret 1895
6
Sultan Syarif Muhammad Alkadrie bin Sultan Syarif Yusuf Alkadrie
15 Maret 1895 – 24 Juni 1944
*
Interregnum
24 Juni 1944 – 29 Oktober 1945
7
29 Oktober 1945 – 30 Maret 1978
*
Interregnum
30 Maret 1978 – 15 Januari 2004
8
Sultan Syarif Abubakar Alkadrie bin Syarif Mahmud Alkadrie bin Sultan Syarif Muhammad Alkadrie[5]
15 Januari 2004 – Sekarang

KERAJAAN ISLAM DI MALUKU
KERAJAAN TERNATE
 Awal Perkembangan Kerajaan Ternate
Pada abad ke-13 di Maluku sudah berdiri Kerajaan Ternate. Ibu kota Kerajaan Ternate terletak di Sampalu (Pulau Ternate). Selain Kerajaan Ternate, di Maluku juga telah berdiri kerajaan lain, seperti Jaelolo, Tidore, Bacan, dan Obi. Di antara kerajaan di Maluku, Kerajaan Ternate yang paling maju. Kerajaan Ternate banyak dikunjungi oleh pedagang, baik dari Nusantara maupun pedagang asing.
A.    Aspek Kehidupan Politik dan Pemerintahan
Raja Ternate yang pertama adalah Sultan Marhum (1465-1495 M). Raja berikutnya adalah putranya, Zainal Abidin. Pada masa pemerintahannya, Zainal Abidin giat menyebarkan agamaIslam ke pulau-pulau di sekitarnya, bahkan sampai ke Filiphina Selatan. Zainal Abidin memerintah hingga tahun 1500 M. Setelah mangkat, pemerintahan di Ternate berturut-turut dipegang oleh Sultan Sirullah, Sultan Hairun, dan Sultan Baabullah. Pada masa pemerintahan Sultan Baabullah, Kerajaan Ternate mengalami puncak kejayaannya. Wilayah kerajaan Ternate meliputi Mindanao, seluruh kepulauan di Maluku, Papua, dan Timor. Bersamaan dengan itu, agama Islam juga tersebar sangat luas.
B.     Aspek Kehidupan Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan
Perdagangan dan pelayaran mengalami perkembangan yang pesat sehingga pada abad ke-15 telah menjadi kerajaan penting di Maluku. Para pedagang asing datang ke Ternate menjual barang perhiasan, pakaian, dan beras untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Ramainya perdagangan memberikan keuntungan besar bagi perkembangan Kerajaan Ternate sehingga dapat membangun laut yang cukup kuat.Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Ternate dalam kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam . Hal itu dapat dilihat pada saat Sultan Hairun dari Ternate dengan De Mesquita dari Portugis melakukan perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab suci Al-Qur’an. Hasil kebudayaan yang cukup menonjol dari kerajaan Ternate adalah keahlian masyarakatnya membuat kapal, seperti kapal kora-kora.
C Kemunduran Kerajaan Ternate.     

Kemunduran Kerajaan Ternate disebabkan karena diadu domba dengan Kerajaan Tidore yang dilakukan oleh bangsa asing ( Portugis dan Spanyol ) yang bertujuan untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Ternate dan Sultan Tidore sadar bahwa mereka telah diadu domba oleh Portugis dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan Maluku. Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tombol Dasar permainan pb poin blank indonesia

Fungsi CTRL dan ALT pada keyboard

Fungsi dan Kegunaan Title Point Blank